Tuesday, March 27, 2007


PASAR MALAM

Saya ingat waktu SD saya pernah datang ke pasar malam deket rumah. Rame banget! Mulai dari ABG yang lagi berusaha mencari perhatian lawan jenis, ibu-ibu yang cerewet, anak kecil yang ngerengek minta permen, sampai segerombolan anak perempuan yang seperti hidup di dunianya sendiri. Belum lagi abang-abang yang nyetel musik super kenceng. Bisa bangunin beruang tidur kali! Warna-warni banget. Dan bising tentunya.

Di pasar malam saya melihat beragam wajah. Senang, sedih, kesal, kecewa. Semua berkumpul. Saya tidak pernah lagi datang ke pasar malam setelah itu. Saya hanya melihatnya dari kejauhan. Well, dari kereta waktu pulang kuliah. Melihatnya dari jauh dan dari deket, ada samanya tapi banyak bedanya.

Saya selalu menyukai pasar malam. Ramai, terang, ceria, dan sederhana. Saya melihat hal yang sama, baik dari jarak dekat which is saya menjadi bagian darinya atau dari jarak jauh sebagai penonton. Tapi melihatnya dari jauh saya lebih terkesan dengan keceriaan dan kesenangan yang terpancar.

Sementara saat saya kecil dulu saya melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik semua keceriaan. Bagaimana tukang komedi putar bekerja keras memutar alat besar itu. Bagaimana tukang kincir berusaha memutar tuasnya agar bergerak. Saya melihat dengan jelas, kalaupun tidak memahami, kerja keras yang tercurah untuk menciptakan kesenangan yang terlihat jelas dari jauh.

Saya ingin terlihat seperti pasar malam. Senang, terang, ceria. Tapi saya berharap orang cukup menikmati itu tanpa perlu melihatnya dari dekat. Saya orang yang penuh konflik itu benar. Bagi saya tanpa konflik hidup akan berjalan datar. Kurang nantang cuy. Tapi selalu ada orang-orang yang berhasil mengintip ke dalam dan melihat, kalaupun tidak memahami, konflik yang membelit, pergulatan yang terjadi. Well, beberapa dari mereka bukan mengintip atas keinginan sendiri, tapi karena saya perlihatkan bagaimana saya bergulat dengan berbagai kepentingan, keinginan, dan mimpi.

Seringkali saya merasa bersalah untuk itu. Saya seperti menciprati mereka dengan tinta hitam sehingga mereka juga sibuk membersihkan diri mereka. Bukan hanya itu, saya juga jatuh ke lumpur di depan mereka. Siapa yang tidak ingin membantu seorang perempuan yang tercebur ke lumpur. Sayangnya untuk membantu dia, mereka harus ikut kotor. Ada yang bilang that what friends are for. Tapi saya hanya ingin para sahabat duduk manis melihat pertunjukan saya dari jauh tanpa harus ikut berpeluh dan berlumpur.

Terima kasih sahabat for being there.

Pikiran saya sedang hiruk pikuk seperti pasar malam.

Cuma iseng di tengah deadline

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home