Sunday, April 08, 2007


Sore yang Basah

Saya selalu menyukai sore yang teduh dan berangin. Saat paman matahari mulai bergeser ke barat. Teriknya mulai melemah meski cahayanya masih terlihat.

Buat saya yang mellow dan sentimental, sore yang teduh dan berawan adalah waktu yang paling tepat menikmati secangkit hazelnut cappuccino dan buku bagus. Melupakan sejenak keributan di kantor. Deadline yang bikin bengek, si bos yang rewel, dan teman-teman yang selalu mengamati.

Tapi sore itu adalah sore yang basah. Hujan rintik-rintik turun perlahan disertai angin. Saya hanya sendiri dengan pikiran yang berputar antara A, B, C, dan kembali lagi ke A. Selama ini ada satu pertanyaan yang tidak pernah berhenti saya tanyakan kepada diri saya sendiri. Apa yang sebenarnya saya cari.

Pasti bukan hanya saya yang bertanya demikian. Di luar sana pasti banyak orang yang menanyakan hal yang sama. “Apa yang sebenarnya kita cari.” Lagi-lagi dengan diawali kata pasti, semua orang memiliki jawabannya sendiri. Emas, bahagia, surga, atau hanya segenggam beras buat makan besok.

Bagi saya pertanyaan itu akan selalu membawa saya pada mimpi dan ambisi serta perenungan terhadap apa yang telah saya miliki sampai sekarang. Sesuatu yang telah saya syukuri ataupun luput saya syukuri. Karena boro-boro bersyukur, saya kadang lupa sama apa yang sudah saya punya dan dapatkan.

Kadangkala tanpa sadar saya jadi mempertanyakan lagi apa yang saya punya saat ini. Benarkah ini yang saya cari selama ini. Saat saya sendiri saya sering dibelit rasa bingung. Apakah benar ini yang saya inginkan? Saat semua orang mengagumi apa yang saya miliki dan apa yang telah saya capai, mau tak mau saya pun ikut mengagumi.

Saya menjadi merasa bersalah kalau saya mempertanyakan hal itu. Rasanya kok saya nggak bersyukur sama apa yang sudah saya punya. Gila ya lo, orang lain aja pengen banget punya apa yang lo punya sekarang. Eh elo dengan tidak tau dirinya mempertanyakan hal itu.

Di sore yang basah saya lagi-lagi bertanya. Hal yang sama terjadi lagi. Dan saya kembali lagi pada sebuah pertanyaan, apakah saya bahagia? Saya tidak tahu apakah saya bahagia atau tidak. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Saya juga tidak tahu gejala orang yang bahagia. Apakah dengan bertanya seperti ini saya berarti tidak bahagia? Atau justru karena saya bahagia, saya jadi bertanya seperti ini.

Ada yang bilang bahagia itu masalah pikiran. Kita mau bahagia atau menderita. Setiap hal bisa menjadi sumber kebahagiaan dan sumber penderitaan. Pilihan ada pada diri kita masing-masing. Sisi mana yang akan kita pilih. Sisi bahagia atau sisi menderita.

Kalau saya tentu memilih sisi bahagia, meski kadang saya dituntun untuk memilih sisi menderita. Mungkin itu untuk mengingatkan saya apa artinya bahagia. Tanpa tahu rasanya menderita, kita tidak akan memahami artinya bahagia. Tanpa gagal, siapa yang bisa menghargai kesuksesan. Tanpa patah hati, cinta mungkin akan kurang manis. Tanpa penolakan, kita mungkin tidak akan menghargai sebuah penerimaan.

Bahagiakah saya? Ya. Saya bahagia dengan segala ketidakbahagiaan yang ada. Apa yang saya cari selama ini? Mungkin segenggam cinta, mungkin sejumput emas, mungkin sebutir berlian, mungkin hanya sedikit ketenangan dan penerimaan. Berlebihankah? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Yang pasti saya berusaha mendapatkan pemahaman di waktu yang tepat.

Pikiran saya kembali berputar dari A, B, C, dan kembali lagi ke A. Hujan masih turun perlahan. Sore itu sore yang basah.

1 Comments:

Blogger Jufe said...

yuuu ayuuu,pan dah dijawab kendiri tuh...tapi mang asik sih berputar putar dalam kepala..asal jangan sampai mental ajah :)

4:14 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home