Monday, August 27, 2007


Ujung Kehidupan Si Lajang

Kehidupan lajang perempuan itu akan segera berakhir. Kebahagiaan menyongsong sebuah pernikahan menyaput dirinya. Mengerjakan detail pernikahan yang rumit menjadi kesenangan tersendiri baginya dalam dua bulan ini. Namun di tengah kebahagiaan yang dirasakannya, desir kekhawatiran membelai hatinya perlahan. Awalnya perasaan itu tak dirasakannya dengan jelas, tapi kehadirannya mulai terasa makin jelas.

Selama ini hidupnya penuh kebebasan. Tidak pernah ada batasan yang jelas untuk setiap sepak terjangnya. Satu-satunya batasan adalah kesenangannya sendiri. Suka suka hatiku senang. Kamar berantakan, dia cuek. Baju kusut, dia tak peduli. Sabun dan shampo habis, dia nyolong dari kamar mandi ibu. Kaus kaki tak dicuci tiga bulan. Mandi sehari sekali. Biasa makan di warung atau jajan Indomie. Menghindari semua orang yang tak ingin dijumpainya. Hanya memiliki satu hati dan satu wajah.

Ia perempuan malam yang mengakrabi kegelapan. Jalan-jalan seorang diri ke tempat yang diinginkan. Pulang ke rumah semalam yang ia mau. Tak mengabari siapapun soal keberadaannya, termasuk kepada ibu. Menyesap cappuccino dimanapun, kapanpun, dan dengan siapapun yang ia mau. Ngobrol semalam suntuk dengan sahabat dan selingkuhan yang membuat tagihan ponselnya membengkak.

Dua bulan mendatang, ia tak lagi seorang lajang. Dia akan menjadi perempuan bersuami dengan keterikatan dan kebebasan yang berbeda. Hal-hal yang mengikat telah menghadang di depan matanya. Ia gentar menghadapi sebuah “penjara” indah dengan semua aturannya.

Kamar tidurnya tak lagi boleh berantakan. Ia harus mulai belajar peduli pada kebutuhan suaminya kelak. Tidak ada lagi sabun dan shampo yang bisa ia curi. Harus mulai belajar masak kalau tidak ingin dikomplain suami dan mertua. Harus lebih teratur dalam banyak hal. Harus...harus...harus. Teratur...teratur...teratur.

Karirnya sebagai perempuan malam juga akan segera tamat. Tidak bisa lagi ia mengakrabi malam seperti sebelumnya. Tidak ada lagi cerita ngopi-ngopi dengan para selingkuhan kalau tidak mau tertimpa talak dari suami yang murka. Jangan harap bisa menghilang begitu saja tanpa memberi kabar kalau tidak ingin dikunciin sama pasangan. Kemana-mana harus laporan seperti tahanan kota.

Si Lajang juga harus belajar menghadapi orang-orang yang tak ingin ia jumpai dan akrabi. Ia harus mulai belajar menggandakan wajahnya. Tantangan yang rasanya enggan ia taklukan.

Doa yang ia ucapkan setiap saat adalah semoga ia tak harus mengalami kebusukan hati dan kekerdilan jiwa gara-gara pekerjaan berat menjadi istri orang. Moga-moga menikah tidak seburuk yang ia bayangkan. Semoga pernikahan akan membawa kedamaian jiwa. Semoga ia pernah mengalami orgasme, paling tidak sekali dalam pernikahan ini.

Tawa kembali berderai dari bibir Si Lajang. Semangat mempersiapkan kembali menyala meski apinya tidak berkobar. Si Lajang kembali menjalani hidupnya menuju akhir kehidupannya.

1 Comments:

Blogger Musafir Muda said...

selamat mengelana!

6:29 PM  

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home