Meaningless Ied Mubarak
Sepotong Memori tentang Eyang
SAYA merasa dari tahun ke tahun hari raya Idul Fitri semakin tidak berarti. Terdapat pergeseran makna yang signifikan bagi jiwa saya. Satu hal yang pasti saya kehilangan kemeriahannya dari tahun ke tahun. Hari raya Idul Fitri beberapa tahun terakhir mungkin hanya berarti cuti panjang dari rutinitas pekerjaan yang menyesakan.
Waktu saya kecil, Idul Fitri berarti bertemu eyang putri, eyang kakung, pakde, bude, sepupu-sepupu, baik yang saya kenal dekat maupun yang hanya saya lihat setahun sekali saat lebaran. Rasanya selalu tak sabar menunggu hari itu.
Pagi-pagi sesudah salat Ied kami sekeluarga selalu berangkat ke rumah eyang. Senang sekali. Satu hal yang saya benci hanya AC taksi yang selalu membuat saya ingin muntah. Maklum sejak dulu kami sekeluarga tak pernah mampu membeli mobil. Saya mengingat dulu saya lebih senang naik becak ketimbang naik kendaraan apapun. Metro mini sering ngebut, sedangkan taksi memiliki bau yang tak enak.
Pergeseran mulai terjadi saat eyang putri wafat bertahun lalu. Saya masih SD saat itu. Usia saya bahkan kurang dari sepuluh tahun. Mungkin baru enam tahun. Saya mengingat kepergian eyang sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Saya tidak rela ditinggal eyang. Sosok yang begitu menyayangi saya. memahami saya. Mengingatnya kini bahkan rasanya masih sesakit dulu. Saya ingat saya menangis histeris saat saya sadar eyang tidur dan tidak akan pernah bangun lagi.
Ia tak akan pernah lagi membawa saya dan “memamerkan” saya pada teman-temannya yang saya ingat sebagai sekelompok orang-orang tua yang begitu baik dan penyayang. Ia tak akan pernah lagi memberikan saya beberapa butir cokelat Van Houtten saat saya kangen rumah kala menginap di rumah eyang. Ia tak akan pernah lagi mengikat rambut panjang saya dengan pita merah. Ia tak akan pernah lagi mengajak saya jalan-jalan sore hari di sekitaran jalan Sanjaya yang lengang dan dinaungi pepohonan rindang. Tak akan pernah lagi.
Eyang putri adalah seseorang yang saya ingat begitu memahami saya. Hanya dia yang merestui saya memiliki rambut panjang kala semua bude-bude mencela pilihan tersebut. Mungkin kalau saat ini eyang masih ada, dia akan menjadi oase kala saya gundah dengan sejuta masalah yang menghimpit. Hhh…saya rindu eyang putri.
Sejak kepergian eyang tahun itu, Idul Fitri terasa berbeda. Eyang kakung adalah seorang yang sangat menyenangkan. Dia memperkenalkan saya pada kecintaan terhadap membaca. Setiap pagi eyang kakung selalu mengajak saya ke ruang kerjanya yang dipenuhi berbagai buku. Ia membaca koran di sana. Mengkliping berbagai berita penting. Meraut pensil untuk membuat beberapa catatan. Ia menghabiskan waktu beberapa jam di sana. Dengan tekun membaca sesuatu. Eyang memberi contoh bagi cucunya yang blingsatan seperti mercon macam saya.
Tapi laki-laki tak akan bertahan tanpa perempuan yang dicintainya dan telah menemaninya selama berpuluh tahun. Setelah eyang putri pergi, eyang kakung mulai dihinggapi penyakit lupa. Ia pun menjadi pikun. Ia tak lagi bisa menemani saya ke ruang kerjanya membaca sesuatu. Saya kangen eyang kakung yang rajin membaca,rajin bercerita, dan mampu menjelaskan banyak hal yang menjadi rahasia alam bagi saya. Kecintaan dan kekaguman pada eyang mungkin yang membuat saya selalu jatuh cinta pada laki-laki cerdas yang mampu menjelaskan banyak hal pada saya.
Setelah eyang kakung mulai pikun, tak banyak lagi orang-orang yang datang saat lebaran tiba. Kami sekeluarga pun mulai datang agak siang ke rumah eyang. Saya pun mulai jarang berjumpa dengan bude, pakde, dan para sepupu. Mereka tak pernah tinggal lama di rumah eyang sejak eyang kakung mulai pikun.
Keadaan semakin berubah saat sepupu saya mulai menikah. Satu per satu dari mereka menikah dan semakin jarang bertemu. Rumah eyang kakung tak lagi menjadi persinggahan utama bagi mereka. Semakin lengang rumah jalan Sanjaya II No. 87. Saya mulai kehilangan, tetapi mulai menerimanya sebagai sesuatu yang given.
Semakin lengangnya rumah eyang saat lebaran, semakin kehilangan juga saya pada keceriaan hari lebaran. Saya mulai pasang jarak pada keluarga besar ayah. Keramahan yang saya tunjukkan tak lebih dari basa-basi semata. Begitu beranjak dewasa, karakter saya yang keras semakin jelas terlihat. Saya mulai sulit tersenyum pada orang yang tidak saya sukai. Dan jumlahnya mulai bertambah dari tahun ke tahun.
Kini saya tak hanya kehilangan keceriaan hari lebaran, tapi juga ketenangan di dalamnya. Saat hari lebaran tiba hati saya justru jadi susah, karena memikirkan harus bertemu muka dengan paling tidak dua orang keluarga ayah. Sebagai anak sulung saya tak pernah bisa menolak hadir meski saya rasanya ingin lari. Saya rela membayar apapun untuk sekadar melarikan diri dari keharusan itu.
Sampai saat ini hari raya Idul Fitri tetap menjadi momen indah bagi saya setiap tahun. Artinya memang telah bergeser, tapi ada yang tak pernah bergeser. Rasa tenang dan bahagia saat mendengar takbir di malam lebaran. Ketenangan yang tak pernah tergantikan. Hal yang hanya bisa saya dengar dua kali dalam setahun.
Berangkat salat Ied kini menjadi satu-satunya ritual yang saya tunggu saat lebaran. Selebihnya, tidak ada. Tidak ketupat, tidak kue lebaran, tidak pertemuan dengan keluarga ayah. Saya pun kehilangan kemampuan untuk memaafkan semua orang. Kini ada hal yang begitu sulit saya maafkan meski saya begitu ingin. Bagi saya lebaran kini nyaris tak ada artinya lagi. Hari fitri saat semua orang bersilaturahmi dan saling memaafkan tak lebih dari sebuah slogan iklan di televisi bagi saya.
Lebaran kini menjadi hari yang sangat sepi bagi saya. Saya menunggu keceriaan itu kembali lagi, dan saya yakin hal itu akan kembali. Saat hati saya kembali mencair.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home