MENULIS
Pada suatu hari saya sempat bertanya pada diri sendiri, sejak kapan ya saya bisa nulis? Seingat saya dulu waktu SD saya paling benci pelajaran mengarang. Saya paling nggak bisa tuh mengarang panjang-panjang.
Hasilnya, saya selalu menggarisi kertas ujian yang polos itu dengan ukuran garis yang besar. Tulisan tangan saya yang aslinya kecil-kecil saya perbesar sekian kali lipat. Intinya supaya saya tidak perlu menulis terlalu banyak. Nggak tahu kenapa saya paling nggak bisa menulis panjang-panjang.Apalagi kalau topiknya berlibur ke rumah nenek.Haduh saya paling nggak bisa deh.
Waktu kecil saya juga tidak punya prestasi seperti para penulis lain. Ikut lomba puisi atau juara menulis cerpen tingkat kecamatan. Sama sekali nggak ada. Tapi dari dulu saya memang suka sekali mencoret-coret kertas. Walaupun tidak menulis apapun saya merasa nyaman kalau ada pulpen dan kertas di dekat saya.
Dulu tulisan saya paling-paling ada di diari saya. Saya mulai aktif menulis diari waktu SMP. Sepertinya waktu mulai naksir-naksir cowok. Diari mulai menjadi bagian penting dalam setiap fase kehidupan saya setelah itu. Saya hampir selalu punya catatan harian apapun bentuknya. Bisa notes lucu, bisa juga buku tulis. Apa saja. Malah waktu beranjak dewasa saya menulis dimanapun.
Saya mulai menulis serius waktu jadi reporter. Walaupun sampai sekarang tulisan saya juga nggak bagus-bagus amat, tapi kalau saya bandingkan dengan diari saya dulu jauh lebih baiklah. Sekarang kalau membaca ulang diari saya dulu rasanya malu sendiri. Karena pilihan kata saya begitu aneh. Sampai saya berpikir, "kok dulu bisa ya nulis kayak begitu?" Aneh sekali.
Menulis bagi saya sangat dipengaruhi mood. Saat mood saya baik, saya bisa menulis panjang lebar. Tapi kalau sedang ruwet, satu kata pun rasanya tak sanggup saya karang. Sebagai penulis profesional, artinya saya mendapat uang dari menulis, harusnya perasaan tak boleh membuat saya mati ide. Namun, sekuat apapun saya berusaha mengabaikan perasaan saya, tetap saja mood berperan besar.
Anehnya saya sulit menulis saat emosi saya meluap-luap, baik terlalu senang ataupun terlalu sedih. Dua kutub perasaan itu mematikan kemampuan saya untuk menulis. Saya justru bisa menulis saat emosi sedang datar-datar. Tidak terlalu senang, juga tidak terlalu sedih. Kalau saya berhasil menulis artinya mood saya tidak berada di dua kutub tadi.
Mungkin bagi penulis, tulisan adalah cermin paling jujur ungkapan emosi dirinya.
Labels: Menulis
1 Comments:
Wah, gw sebaliknya Yu. Dari dulu gw sukaaaaaaa....bgt tugas mengarang. Luv luv it. didnt feel like an assignment 4 me.
BTW, tentu bisa dong bikin blog bareng. Tapi harus tunggu waktu dan mood yang pas dulu neh.. Hehehehe...
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home