Surat Cinta
Dulu jaman SMP saya dengan noraknya kirim-kiriman surat cinta dengan mantan pacar. Waktu pedekate kami saling berkirim surat cinta. Nggak banyak sih, cuma tiga, tapi cukup bikin hati berbunga-bunga tiap kali baca. Surat itu saya simpan terus dan menyertai saya kemanapun meski kami tidak bersama lagi.
Rasanya senang mengingat dan tahu dan menyimpan bukti bahwa pernah ada seseorang yang menyukai saya dan menulis surat cinta untuk saya. Tapi sekarang surat itu hilang, meski memori tentang masa-masa itu masih tinggal dalam benak saya.
Memang sih memori itu berada di tumpukan paling bawah memori tentang perjalanan cinta saya (duh kayak ngomong perjalanan karir ajah). Tapi dia masih di sana. Walaupun untuk mendapatkannya harus mengorek-ngorek dulu.
Sekarang hal indah itu sudah menjadi kenangan yang nyaris terlupakan. Hari ini tiba-tiba saya berpikir kenapa kenangan indah itu bisa terlupa ya. Padahal saya punya banyak hal lain yang ingin saya buang dan lupakan dan kubur yang dalam. Tapi malah tidak terjadi.
Mereka masih berada di tumpukan atas yang begitu dibuka langsung terlihat dengan warna spotlight. Tidak bisa ditolak sama sekali. Kekesalan saya memuncak. Saya marah kenapa mereka tidak bisa diusir pergi. Kenapa mereka bandel dan terus merangsek naik ke tumpukan paling atas alih-alih diam dan berada di tumpukan paling bawah.
Saya terus marah dan mengamuk sampai akhirnya saya mulai hidup bersama dengan ingatan-ingatan, harapan yang tidak kesampaian, dan mimpi-mimpi buruk itu. Hidup dengan mereka sama sekali tidak mudah. Akan jauh lebih mudah bila saya mampu melupakan itu semua. Tapi ingatan saya menolak bekerja sama dan terus mengingatnya.
Saya mencoba hidup bersama mereka. Hidup bersama penolakan, kekecewaan, kemarahan, dan mimpi buruk. Saya berusaha berdamai dengan mereka walaupun itu tidak berarti melupakan. Saya tidak pernah melupakan.
Alangkah menyenangkannya kalau bisa melupakan. Hal itu terus menerus melintas di kepala saya, sampai akhirnya saya sampai pada sebuah pemikiran. Jangan-jangan melupakan adalah sebuah mekanisme pelarian.
Saat kita tidak bisa benar-benar lari karena keadaan, tubuh kita membuat mekanisme “lari dari masalah” yang lain, yaitu melupakan. Karena begitu menyenangkannya kalau kita bisa melupakan cinta yang tidak kesampaian, perasaan yang terlarang, patah hati yang menyakitkan, kegagalan yang memalukan.
Mungkin sudah saatnya bagi saya untuk menghadapi semua yang tidak menyenangkan ini dan belajar tersenyum pada mereka. Belajar hidup bersama dengan damai. Mungkin setelah itu melupakan tidak lagi penting.
Tidak perlu lagi ada kata-kata “gue belajar melupakan.” Mungkin itu perlu diubah dengan bilang “gue belajar hidup bersama dengan patah hati ini.” Dan melupakan tidak lagi penting seperti surat cinta yang kini entah disembunyikan ibu dimana.
Dulu jaman SMP saya dengan noraknya kirim-kiriman surat cinta dengan mantan pacar. Waktu pedekate kami saling berkirim surat cinta. Nggak banyak sih, cuma tiga, tapi cukup bikin hati berbunga-bunga tiap kali baca. Surat itu saya simpan terus dan menyertai saya kemanapun meski kami tidak bersama lagi.
Rasanya senang mengingat dan tahu dan menyimpan bukti bahwa pernah ada seseorang yang menyukai saya dan menulis surat cinta untuk saya. Tapi sekarang surat itu hilang, meski memori tentang masa-masa itu masih tinggal dalam benak saya.
Memang sih memori itu berada di tumpukan paling bawah memori tentang perjalanan cinta saya (duh kayak ngomong perjalanan karir ajah). Tapi dia masih di sana. Walaupun untuk mendapatkannya harus mengorek-ngorek dulu.
Sekarang hal indah itu sudah menjadi kenangan yang nyaris terlupakan. Hari ini tiba-tiba saya berpikir kenapa kenangan indah itu bisa terlupa ya. Padahal saya punya banyak hal lain yang ingin saya buang dan lupakan dan kubur yang dalam. Tapi malah tidak terjadi.
Mereka masih berada di tumpukan atas yang begitu dibuka langsung terlihat dengan warna spotlight. Tidak bisa ditolak sama sekali. Kekesalan saya memuncak. Saya marah kenapa mereka tidak bisa diusir pergi. Kenapa mereka bandel dan terus merangsek naik ke tumpukan paling atas alih-alih diam dan berada di tumpukan paling bawah.
Saya terus marah dan mengamuk sampai akhirnya saya mulai hidup bersama dengan ingatan-ingatan, harapan yang tidak kesampaian, dan mimpi-mimpi buruk itu. Hidup dengan mereka sama sekali tidak mudah. Akan jauh lebih mudah bila saya mampu melupakan itu semua. Tapi ingatan saya menolak bekerja sama dan terus mengingatnya.
Saya mencoba hidup bersama mereka. Hidup bersama penolakan, kekecewaan, kemarahan, dan mimpi buruk. Saya berusaha berdamai dengan mereka walaupun itu tidak berarti melupakan. Saya tidak pernah melupakan.
Alangkah menyenangkannya kalau bisa melupakan. Hal itu terus menerus melintas di kepala saya, sampai akhirnya saya sampai pada sebuah pemikiran. Jangan-jangan melupakan adalah sebuah mekanisme pelarian.
Saat kita tidak bisa benar-benar lari karena keadaan, tubuh kita membuat mekanisme “lari dari masalah” yang lain, yaitu melupakan. Karena begitu menyenangkannya kalau kita bisa melupakan cinta yang tidak kesampaian, perasaan yang terlarang, patah hati yang menyakitkan, kegagalan yang memalukan.
Mungkin sudah saatnya bagi saya untuk menghadapi semua yang tidak menyenangkan ini dan belajar tersenyum pada mereka. Belajar hidup bersama dengan damai. Mungkin setelah itu melupakan tidak lagi penting.
Tidak perlu lagi ada kata-kata “gue belajar melupakan.” Mungkin itu perlu diubah dengan bilang “gue belajar hidup bersama dengan patah hati ini.” Dan melupakan tidak lagi penting seperti surat cinta yang kini entah disembunyikan ibu dimana.
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home