Uninspiring Leadership (Uninspiring Leadersheep)
Menjadi pemimpin tak sesederhana yang dipikirkan orang. Menjadi leader sangat berbeda dengan menjadi bos. Bos bisa jadi hanya cukup perintah sana sini. Tapi menjadi leader berarti menjadi “pemandu” sekaligus sumber semangat yang tak ada habisnya bagi mereka yang dipandu. Dalam benak saya menjadi pemimpin berarti menjadi suar dalam perjalanan sebuah organisasi.
Manajemen sebuah organisasi sudah selayaknya menjadi pemimpin yang mampu memberi inspirasi bagi “anak buah” kalau itu memang kata yang tepat. Sebuah manajemen harus memiliki wibawa dan kecerdasan. Dengan konsep yang ada di benak saya, manajemen dalam organisasi tempat saya bergabung menjadi sangat tidak berwibawa dan cerdas.
Mereka memberlakukan berbagai peraturan yang tidak seharusnya mereka berlakukan. Memberlakukan sederet kebijakan itu sama saja dengan mencoreng wajah sendiri dengan arang. Bunuh diri. Saya bisa menyebut sederet hal bodoh yang mereka lakukan. Pertama dan yang paling tolol adalah mengunci salah satu toilet dengan dalih memberikan efek jera. Sungguh sangat tolol.
Awal mulanya ada oknum yang dengan joroknya membiarkan ampas kehidupannya mengambang di toilet. Tak mampu menemukan cara yang tepat untuk menghukum pelakunya, manajemen memutuskan untuk mengunci kamar mandi terluas dan tiga kamar mandi yang ada. Akhirnya penduduk di lantai tiga dan empat harus mengantri di toilet mungil yang berada di lantai empat.
Salah seorang manajer yang ikut nimbrung saat makan siang menyatakan bahwa hal itu dilakukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku yang hingga kini tetap misteri. “Pada akhirnya semua akan susah kalau ada satu orang yang melakukan sebuah kesalahan,” begitu kata si manajer. Saya tidak menemukan logika berpikir yang jelas di sini, apalagi aksi penguncian tersebut tidak diikuti dengan penjelasan yang yang pantas.
Pertanyaan besar yang menggantung di otak saya adalah: Apakah setelah aksi penguncian toilet yang belum berakhir hingga kini tidak akan ditemukan lagi ampas kehidupan atau hal lain yang mengambang di kamar mandi? Saya tidak yakin dengan hal tersebut.
Bagi saya menjaga kebersihan toilet adalah kewajiban setiap orang. Kalaupun terjadi pelanggaran, harus ditemukan cara yang bijaksana dan efektif untuk mengatasinya. Bukannya dengan mengambil jalan pintas dengan mengunci salah satu toilet. Hal itu bukan saja tidak mengatasi masalah, tetapi yang lebih parah tindakan ini hanya mengotori wajah manajemen yang memang sudah kotor.
Sulit rasanya berharap anggota organisasi akan menaruh hormat kepada manajemen. Kalaupun mereka tidak membantah atau mendemo peraturan yang dikeluarkan, hal itu semata-mata karena unsur kepraktisan dan ketakutan gaji tidak keluar bulan depan. Mau makan apa anak dan istri di rumah kalau gaji yang diandalkan untuk menjalankan roda perekonomian keluarga tidak cair.
Belum reda masalah toilet, salah seorang utusan manajemen sudah mulai mencoba mendiskusikan tentang pelarangan Yahoo Messenger! dan situs Friendster. Alasan yang digunakan adalah menurunnya efektivitas kerja karyawan karena mereka asik ber-ym ria dengan teman-temannya.
Satu buah pikiran yang menurut saya juga kurang bijaksana dan cerdas. Sudah menjadi rahasia umum bila manajemen perusahaan kecil lebih senang mengkambinghitamkan Yahoo Messenger atas ketidakefektifan karyawannya ketimbang bersusah payah mencari akar permasalahannya. Mereka tidak mau pusing bertanya “mengapa karyawan saya lebih senang menghabiskan waktu berjam-jam untuk chatting ketimbang mencoba berusaha menampilkan prestasi yang baik?”
Bagi saya kalau efektivitas kerja menurun, pasti ada hal besar yang menjadi penyebabnya. Yahoo Messengger, Friendster, atau apapun yang dianggap bersalah hanya menjadi ekses dari masalah yang ada.
Saya menduga salah satu akar masalahnya adalah sistem reward and punishment yang tidak dijalankan dengan benar dan adil. Menurut saya bila hal tersebut telah dijalankan dengan benar dan adil, angka efektivitas kerja tentunya akan meningkat secara signifikan.
Bila dalam sebuah organisasi sistem reward and punishment tidak dilakukan dengan benar dan adil, rasanya sulit berharap efektivitas kerja akan meningkat. Buat apa mereka mencurahkan pikiran dan tenaganya bila apa yang mereka dapat sama dengan seseorang yang hasil kerjanya kacau dengan kedisiplinan yang sangat minim. Kalau seperti kondisinya, hanya ada dua kemungkinan pada wajah grafik efektivitas kerja. Menurun atau stagnan.
Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang cerdas dan humble yang mau bersusah payah mencari akar sebuah permasalahan dan solusi yang bijak. Hanya dengan itu sebuah kepemimpinan akan berdiri tegak dan dihormati tanpa mengemis untuk itu. Jadilah pemimpin yang inspiratif, bukan sebaliknya.
Iseng pas nemenin seto latian di SPH Karawaci