Saturday, April 21, 2007


SEBUAH KESADARAN

Kesadaran betul-betul hal yang aneh. Kadang dia datang menyelinap dengan cara yang sangat aneh. Diam-diam dan tiba-tiba. Selama ini saya berusaha mencari kesadaran itu. Tapi susah. Namun dia bisa datang hanya dengan membaca testimonial seseorang dan melihat foto yang diposting.

Saya sadar dan saya kecewa. Semoga kesadaran ini mengantarkan saya pada sebuah pemahaman. Saya bahagia hanya dengan melihat dia bahagia. Air mata mungkin menetes, tapi itu menjadi tidak penting saat melihat sorot mata bahagia dan senyum merekah di wajahnya.

Friday, April 20, 2007


Teman,
Bayangmu berkelebat lagi dalam pikiranku yang kelabu
Ada bahagia yang mengembang
Ada rindu yang mendesak
Ditingkah perih yang tak terkira

Aku ingin berlari menghambur ke pelukanmu
Tapi tangan itu tak pernah mengembang
Dan tanganku tak pernah menggapai
Semua berada dalam harap

Harapan semu ini terus memelukku dengan erat
Tak menyisakan sedikit ruang bagiku bernafas
Ada hangat menyergap
Ada perih menusuk

Bayangmu masih menari
Asaku masih mencari
Tanganku masih menggenggam senyala api ini
Namun dingin di hatimu tak jua beranjak pergi

Cuap-cuap Jumat malem

Tuesday, April 10, 2007

Bolehkah Aku Jatuh Hati Padanya?

Pergi mungkin jalan terbaik
Lari mungkin sebuah penyelesaian
Detik ini aku menanti
Detik ini aku berharap

Menikmati detik yang mengalir
Berlebihankah harapan ini?
Yang aku tahu aku jatuh hati padanya
Bolehkah?

Aku ingin pergi
Bersembunyi di hutan
Mencari kedamaian atau ilusi akan kedamaian
Dan aku mencariMu Tuhan

Sunday, April 08, 2007


Surat Cinta

Dulu jaman SMP saya dengan noraknya kirim-kiriman surat cinta dengan mantan pacar. Waktu pedekate kami saling berkirim surat cinta. Nggak banyak sih, cuma tiga, tapi cukup bikin hati berbunga-bunga tiap kali baca. Surat itu saya simpan terus dan menyertai saya kemanapun meski kami tidak bersama lagi.

Rasanya senang mengingat dan tahu dan menyimpan bukti bahwa pernah ada seseorang yang menyukai saya dan menulis surat cinta untuk saya. Tapi sekarang surat itu hilang, meski memori tentang masa-masa itu masih tinggal dalam benak saya.

Memang sih memori itu berada di tumpukan paling bawah memori tentang perjalanan cinta saya (duh kayak ngomong perjalanan karir ajah). Tapi dia masih di sana. Walaupun untuk mendapatkannya harus mengorek-ngorek dulu.

Sekarang hal indah itu sudah menjadi kenangan yang nyaris terlupakan. Hari ini tiba-tiba saya berpikir kenapa kenangan indah itu bisa terlupa ya. Padahal saya punya banyak hal lain yang ingin saya buang dan lupakan dan kubur yang dalam. Tapi malah tidak terjadi.

Mereka masih berada di tumpukan atas yang begitu dibuka langsung terlihat dengan warna spotlight. Tidak bisa ditolak sama sekali. Kekesalan saya memuncak. Saya marah kenapa mereka tidak bisa diusir pergi. Kenapa mereka bandel dan terus merangsek naik ke tumpukan paling atas alih-alih diam dan berada di tumpukan paling bawah.

Saya terus marah dan mengamuk sampai akhirnya saya mulai hidup bersama dengan ingatan-ingatan, harapan yang tidak kesampaian, dan mimpi-mimpi buruk itu. Hidup dengan mereka sama sekali tidak mudah. Akan jauh lebih mudah bila saya mampu melupakan itu semua. Tapi ingatan saya menolak bekerja sama dan terus mengingatnya.

Saya mencoba hidup bersama mereka. Hidup bersama penolakan, kekecewaan, kemarahan, dan mimpi buruk. Saya berusaha berdamai dengan mereka walaupun itu tidak berarti melupakan. Saya tidak pernah melupakan.

Alangkah menyenangkannya kalau bisa melupakan. Hal itu terus menerus melintas di kepala saya, sampai akhirnya saya sampai pada sebuah pemikiran. Jangan-jangan melupakan adalah sebuah mekanisme pelarian.

Saat kita tidak bisa benar-benar lari karena keadaan, tubuh kita membuat mekanisme “lari dari masalah” yang lain, yaitu melupakan. Karena begitu menyenangkannya kalau kita bisa melupakan cinta yang tidak kesampaian, perasaan yang terlarang, patah hati yang menyakitkan, kegagalan yang memalukan.

Mungkin sudah saatnya bagi saya untuk menghadapi semua yang tidak menyenangkan ini dan belajar tersenyum pada mereka. Belajar hidup bersama dengan damai. Mungkin setelah itu melupakan tidak lagi penting.

Tidak perlu lagi ada kata-kata “gue belajar melupakan.” Mungkin itu perlu diubah dengan bilang “gue belajar hidup bersama dengan patah hati ini.” Dan melupakan tidak lagi penting seperti surat cinta yang kini entah disembunyikan ibu dimana.


Sore yang Basah

Saya selalu menyukai sore yang teduh dan berangin. Saat paman matahari mulai bergeser ke barat. Teriknya mulai melemah meski cahayanya masih terlihat.

Buat saya yang mellow dan sentimental, sore yang teduh dan berawan adalah waktu yang paling tepat menikmati secangkit hazelnut cappuccino dan buku bagus. Melupakan sejenak keributan di kantor. Deadline yang bikin bengek, si bos yang rewel, dan teman-teman yang selalu mengamati.

Tapi sore itu adalah sore yang basah. Hujan rintik-rintik turun perlahan disertai angin. Saya hanya sendiri dengan pikiran yang berputar antara A, B, C, dan kembali lagi ke A. Selama ini ada satu pertanyaan yang tidak pernah berhenti saya tanyakan kepada diri saya sendiri. Apa yang sebenarnya saya cari.

Pasti bukan hanya saya yang bertanya demikian. Di luar sana pasti banyak orang yang menanyakan hal yang sama. “Apa yang sebenarnya kita cari.” Lagi-lagi dengan diawali kata pasti, semua orang memiliki jawabannya sendiri. Emas, bahagia, surga, atau hanya segenggam beras buat makan besok.

Bagi saya pertanyaan itu akan selalu membawa saya pada mimpi dan ambisi serta perenungan terhadap apa yang telah saya miliki sampai sekarang. Sesuatu yang telah saya syukuri ataupun luput saya syukuri. Karena boro-boro bersyukur, saya kadang lupa sama apa yang sudah saya punya dan dapatkan.

Kadangkala tanpa sadar saya jadi mempertanyakan lagi apa yang saya punya saat ini. Benarkah ini yang saya cari selama ini. Saat saya sendiri saya sering dibelit rasa bingung. Apakah benar ini yang saya inginkan? Saat semua orang mengagumi apa yang saya miliki dan apa yang telah saya capai, mau tak mau saya pun ikut mengagumi.

Saya menjadi merasa bersalah kalau saya mempertanyakan hal itu. Rasanya kok saya nggak bersyukur sama apa yang sudah saya punya. Gila ya lo, orang lain aja pengen banget punya apa yang lo punya sekarang. Eh elo dengan tidak tau dirinya mempertanyakan hal itu.

Di sore yang basah saya lagi-lagi bertanya. Hal yang sama terjadi lagi. Dan saya kembali lagi pada sebuah pertanyaan, apakah saya bahagia? Saya tidak tahu apakah saya bahagia atau tidak. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Saya juga tidak tahu gejala orang yang bahagia. Apakah dengan bertanya seperti ini saya berarti tidak bahagia? Atau justru karena saya bahagia, saya jadi bertanya seperti ini.

Ada yang bilang bahagia itu masalah pikiran. Kita mau bahagia atau menderita. Setiap hal bisa menjadi sumber kebahagiaan dan sumber penderitaan. Pilihan ada pada diri kita masing-masing. Sisi mana yang akan kita pilih. Sisi bahagia atau sisi menderita.

Kalau saya tentu memilih sisi bahagia, meski kadang saya dituntun untuk memilih sisi menderita. Mungkin itu untuk mengingatkan saya apa artinya bahagia. Tanpa tahu rasanya menderita, kita tidak akan memahami artinya bahagia. Tanpa gagal, siapa yang bisa menghargai kesuksesan. Tanpa patah hati, cinta mungkin akan kurang manis. Tanpa penolakan, kita mungkin tidak akan menghargai sebuah penerimaan.

Bahagiakah saya? Ya. Saya bahagia dengan segala ketidakbahagiaan yang ada. Apa yang saya cari selama ini? Mungkin segenggam cinta, mungkin sejumput emas, mungkin sebutir berlian, mungkin hanya sedikit ketenangan dan penerimaan. Berlebihankah? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Yang pasti saya berusaha mendapatkan pemahaman di waktu yang tepat.

Pikiran saya kembali berputar dari A, B, C, dan kembali lagi ke A. Hujan masih turun perlahan. Sore itu sore yang basah.