Thinking About Youby: Norah Jones
yesterday i saw the sun shinin',
and the leaves were fallin' down softly,
my cold hands needed a warm, warm touch,
and i was thinkin' about you.
here i am lookin' for signs of leaving,
you hold my hand, but do you really need me?
i guess it's time for me to let you go,
and i've been thinkin' about you,
i've been thinkin' about you.
when you sail across the ocean waters,
and you reach the other side safely,
could you smile a little smile for me?
'cause i'll be thinkin' about you,
i'll be thinkin' about you,
i'll be thinkin' about you,
i'll be thinkin' about you.
Now I'm thinking about someone. Missing him too. Setoooo....I miss U
O iya ini ada tulisan iseng-iseng. Saya buat untuk temen saya. Iseng-iseng diposting aja. Rencananya ini bakal dimuat di buku yang sedang dia susun. Hehehehe...moga-moga ada yang kasih comment. Buat improvement :)
My New OutlookDulu saya adalah orang yang sama sekali tidak peduli dengan penampilan. Bagi saya yang terpenting adalah hasil pekerjaan yang bisa saya tampilkan. Bukan bagaimana penampilan luar saya.
Selama bertahun-tahun saya bekerja, nyaris tidak ada yang komplain soal penampilan saya. Mungkin karena bos-bos saya sebelumnya memiliki orientasi yang sama dengan saya. Penampilan tidak penting, yang penting hasil kerjanya. Apalagi saya adalah seorang reporter. Pekerja lapangan yang sangat dimaklumi kalau tidak bisa dandan dan berpakaian necis.
Saya merasa nyaman dengan diri saya saat itu. Sangat nyaman malah. Saya menjadikan wajah saya yang ber-make up seadanya dan kadang tabrak lari dalam berpakaian sebagai identitas saya. Ego saya yang luar biasa besar mendorong saya untuk tampil dengan citra seperti itu. Saya ingin dikenal sebagai Sekar Ayu yang cuek tapi handal dalam pekerjaannya.
Semua mendadak berubah saat saya menjajal pekerjaan baru. Bertahun-tahun berada di lapangan, tiba-tiba saya ingin menjajal kemampuan dalam menyusun strategi komunikasi. Saya memutuskan untuk “alih profesi”menjadi public relation.
Pada interview terakhir, pihak manajemen salah satu mal besar di Jakarta yang berhasil meminang saya sudah memberikan isyarat supaya saya mengubah penampilan. Alarm seperti berbunyi di telinga. Tapi saya masih mendengarnya samar-samar. Hari pertama, saya datang dengan penampilan biasa saja meski saya berpikir penampilan pagi itu sudah cukup baik.
Namun saya salah besar. Penampilan saya tidak cukup baik. Tapi saya tidak punya jalan lain karena memang tidak ada pakaian yang cukup tepat. Koleksi pakaian saya adalah t-shirt dan jaket. Mana cocok untuk seorang PR yang harusnya memakai setelan konservatif yang resmi.
Perlengkapan lenong saya juga cuma bedak dan lipstik warna bibir. Padahal saya dituntut memulas mata dengan perona mata dengan warna serasi, mengulaskan perona pipi berwarna segar, dan mengoleskan gincu dengan warna yang cukup mencolok.
Hal seperti ini berlangsung terus selama tiga hari berturut-turut sampai sang manager yang orang Singapura itu memanggil saya ke ruangannya. Awalnya sih cuma meminta saya menandatangani perjanjian kerja, tapi buntutnya dia memberi ceramah soal penampilan saya yang masih terlihat seperti “wartawan”.
Tersinggung dan sakit hati adalah reaksi pertama. Tapi logika saya membenarkan semua kata-katanya. Sebagai PR yang mewakili citra perusahaan sudah seharusnya saya berdandan dengan benar dan cermat memilih pakaian yang pas dan cocok.
Siang itu teman-teman saya langsung melakukan “make over” dengan mencarikan pakaian yang cocok untuk saya. Sore itu saya langsung membeli baju-baju yang menurut mereka cocok itu. Saya juga membeli blush on, eye shadow, lipstik, maskara, dan penjepit bulu mata. Saya juga langsung belajar kilat memakai semua alat-alat kecantikan itu pada mbak-mbak penjaga counter produk kecantikan tersebut.
Besoknya semua orang merasa cukup puas dengan penampilan baru saya. Sehari…seminggu…sebulan…saya merasa semakin terbiasa dengan perubahan ini. Begitu terbiasa hingga saya merasa belum lengkap kalau nggak dandan.
Berdandan dan memilih pakaian yang pas dan serasi rasanya telah menyatu dengan diri saya. Pekerjaan saya yang baru tidak menuntut saya untuk berdandan, tapi saya tetap mempertahankan penampilan saya yang baru dengan riasan di wajah dan pakaian-pakaian yang terlihat chic. Padahal saya bisa saja tampil se-cuek dulu. Tidak akan ada yang protes. Namun bagi saya sekarang, penampilan sama pentingnya dengan kualitas pekerjaan.
(Hihihihi...perlu diingat tulisan ini setengah fiksi.hehehehehe...sampai sekarang saya tetap nggak doyan dandan ;)